Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Soal Tanah Timbul Hutan Mangrove Di Lahewa : Pemkab Nisut Dinilai Tutup Mata

Sunday, February 16, 2020 | 2:50 AM WIB | 0 Views Last Updated 2020-02-16T10:55:42Z

NIAS UTARA  (Topsumut.co)
Gempa tektonik yang mengguncang Nias 2005 yang lalu, mengakibatkan tanah timbul menjadi  daratan pasir, setelah terjadi gempa (akresi) disalah satu wilayah yakni Kelurahan Lahewa Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Utara, tidak lama beberapa  tahun kemudian menjadi kawasan hutan mangrove (bakau) yang dulunya tumbuh berjejer disepadan pantai lahewa kini punah, dan telah jadi daratan. Melihat polemik itu,  menuai kritikan dari kalangan aktifis Nias. Salah satunya Ketua Umum Gapernas Happy A. Zalukhu menyampaikan keprihatinannya soal tanah timbul tersebut saat dimintai tanggapannya Minggu, (16/02/20).

Berdasarkan pemantauan kita, pasca gempa tektonik yang melanda Pulau Nias 2005 yang lalu, banyak oknum masyarakat yang mencoba mengais keuntungan pribadi dengan menggarap lahan tanah timbul tersebut dengan menanam pohon bahkan mendirikan bangunan.


Sehingga, sejak saat itu banyak oknum masyarakat yang berlomba lomba menggarap lahan tanah timbul tersebut, bahkan info yang kita peroleh diduga ada oknum masyarakat yang mengklaim sebagai ahli waris yang telah diberikan kuasa atas tanah adat/marga/ulayat, dan tidak menutup kemungkinan tanah timbul tersebut menjadi ajang transaksi jual beli untuk menghasilkan pundi-pundi uang," ungkap Happy.

Sambung dia, jika diketahui pada masa kepemimpinan Bupati Binahati B Baeha dan Edward Zega, kedua Bupati telah menerbitkan  Surat Edaran, yang di terbitkan pada No 590/207/II/Distah pada tanggal 24 April 2007 Bupati Nias Utara sebelumnya,Sementara masa Bupati  Eduward Zega, Oleh Bupati menerbitkan lagi surat edaran dengan No : 590/510/Tapem/2015 terbit pada tanggal 10 Maret 2015, Surat edaran ini diterbitkan oleh kedua Bupati sebelumnya untuk memberikan himbauan kepada warga masyarakat bahwa tanah timbul tersebut tidak bisa dimiliki apalagi diperjual belikan, mutlak tanah tersebut adalah milik negara yang di kelola oleh pemerintah, namun surat edaran itu sama sekali tidak digubris oleh oknum masyarakat yang menggarap lahan tanah timbul tersebut, "sebutnya dengan nada kesal.

Lanjut dia, daerah itu dulunya dikenal sebagai areal atau kawasan hutan mangrove (bakau), semestinya oleh Pemkab Nias Utara melakukan konservasi dan mempersiapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung untuk menjaga terjadinya abrasi atau mitigasi bencana, jelas secara aturan area atau kawasan tersebut dilarang dimiliki atau dikelola selain untuk fungsi itu.

"Itu dulu area hutan mangrove, semestinya kawasan itu harus dikonservasi dan dipersiapkan sebagai mitigasi bencana oleh Pemkab Nias Utara, jadi baik oleh perorangan, maupun perusahaan, semestinya tidak boleh, karena itu daerah hutan mangrove (bakau)." katanya.

Sambung dia mengatakan, dari semua payung hukumnya sudah ada, sudah seyogiyanya dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan langkah atau upaya hukum, terhadap oknum masyarakat yang mencoba menggarap atau memiliki atau menguasai lahan tersebut. Hal ini juga jelas diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 27 tahun 2007, diatur pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Pertanahan menyatakan bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul dikuasai langsung oleh negara (pasal 12) dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 menyatakan bahwa tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara (pasal 15).

"Aturan dan Undang-Undangnya ada, pihak atau oknum yang mencoba mengangkangi aturan itu dapat dikenakan sanksi bahkan pidana", tegasnya.

Secara tata ruang, pemerintah wajib memberikan perlindungan terhadap seluruh kawasan pesisir, apalagi itu dulunya kawasan hutan mangrove yang merupakan kawasan lindung. Dengan kewajiban ini, sebetulnya ada celah yang bisa dipakai Pemerintah dalam hal ini Pemkab Nias Utara untuk melindungi masyarakat sekaligus status hukum tanah timbul, karena itu kawasan lindung dibawah penguasaannya, dan juga peran agensi pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nias bisa mendata dan menentukan berapa luasan tanah timbul yang langsung akan dikuasai negara sesuai dengan regulasi Peraturan Menteri Agraria Nomor 17 Tahun 2016 tentang penataan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemkab Nias Utara harus segera perannya sebagai pihak pertama dan mengambil langkah-langkah atau upaya hukum terkait polemik tersebut, termasuk segera menerbitkan perdanya, karena tanah timbul areal hutan mangrove yang semestinya dilindungi tersebut rentan akan menimbulkan masalah baik sosial dan dapat memicu konflik baik perorangan atau kelompok masyarakat, jika hal ini tidak segera disikapi maka patut kita menilai adanya pembiaran.

"Pemerintah Nias Utara harus tanggap dan cermat sikapi polemik ini sebagai Pihak Pertama, jika tidak, itu namanya tutup mata, maka kita menilai adanya pembiaran. Bila perlu pemerintah Kabupaten Nias Utara diharapkan untuk memasang papan plang larangan kepada warga bahwa kawasan tersebut milik Pemkab Nias Utara, karena ini sangat  perlu, dikarenakan menyangkut kepentingan masyarakat dan juga soal ini rentan dengan konflik ditengah-tengah masyarakat. Termasuk juga kepada pihak Kepolisian dalam hal ini Polres Nias sebagai penegak hukum untuk bisa mengambil upaya hukum yang ada, jika ada pidana, untuk dapat ditindak", jelasnya.

Terakhir, penguasaan tanah timbul acap menjadi konflik ditingkat tapak, dan kita juga mengingatkan agar hal ini tidak dijadikan sebagai komoditas politik tingkat lokal. Sebab, tanah timbul bisa saja dijadikan alat dalam janji politik oleh oknum politikus soal legalisasi.

"Apalagi ini kan mau dekat pilkada, harapan kita polemik ini jangan dijadikan sebagai komoditas politik tingkat lokal. Sebab, soal tanah timbul ini bisa saja nantinya dijadikan alat dalam janji politik para politikus soal legalisasi, "tutup Happy A. Zalukhu

Sementara itu untuk membuktikan kebenarannya wartawan Topsumut melakukan konfirmasi kepada Lurah Lahewa Amran Gulo, mengaku bahwa tanah timbul tersebut benar milik pemerintah," Memang benar bahwa kawasan tersebut milik pemerintah Nias Utara, dan surat edaran dua Bupati terdahulu belum tahu sama sekali," ujar  Amran, melalui telefon selulernya.


(Yas Gul)

×
Berita Terbaru Update